Ushul Fiqih
KONSEP DASAR HUKUM ISLAM
DAN PEMBAGIANNYA
USHUL FIQIH
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen
Pembimbing : Ihya’Ulumuddin MA.
Jurusan / Prodi
: Tarbiyah / PAI
Semester / Kelas : 1 / A

Disusun
Oleh :
Fathur
Rohman
Ahmad
Zaini Ro’is
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM SYARIFUDDIN
WONOREJO
– LUMAJANG
2017/2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, kami panjatkan puji
syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya, makalah ini dapat kami
selesaikan. Shalawat dan salam kami haturkan kepada nabi Muhammad SAW yang
telah membimbinng kita menuju cahaya kebenaran yakni agama islam.
Adapun pembuatan makalah ini
dimaksudkan untuk diajukan sebagai syarat dalam diskusi kelompok pada mata
kuliah Ushul Fiqih di Institut Agama Islam Syarifuddin ( IAIS ) Wonorejo
Lumajang. Dan atas dasar itulah maka kami mengharapkan semoga makalah ini bisa
digunakan sebagai bahan diskusi kelompok sebagaimana mestinya.
Mudah
– mudahan makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis
menjadi amal yang sholeh yang bisa menghantarkan kesuksesan dalam belajar. Atas
perhatian dan kerjasamanya yang baik kami ucapkan terima kasih.
Lumajang, 27
September 2017
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL HALAMAN ........................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah....................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1Pengertian Hukum
Dalam Islam........................................... 2
2.2 Ruang Lingkup
Hukum Islam ............................................. 2
2.3 Tujuan Hukum
Islam............................................................ 2
2.4 Pembagian Hukum
Islam ..................................................... 3
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................... 6
3.2 Kritik dan Saran .................................................................. 6
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sumber hukum islam ada dua:
al-Quran dan Hadis. Adapun dasar hukum islam kurang lebih ada sebelas: Dasar
hukum yang disepakati ulama ada empat: al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dasar
hukum yang tidak disepakati oleh ulama ada tujuh: Istihsan, Maslahah Mursalah,
Urf (adat istiadat), Istishab, Syar’u Man Qablana, Madzhab Shohabi, Sadd
az-Zariah.
Lalu bagaimana mengenai tentang
hukum Taklifi, hukum Wadh’I dan hukum Takhyiri? Disini kami selaku penulis akan
mengulasnya secara tuntas meskipun hal tersebut tak luput dari
ketidaksempurnaan yang telah paten dimiliki setiap insan. Dengan bantuan
teman-teman dan Bapak Dosen khususnya, hal tersebut akan lebih mendekati kata
sempurna.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum menurut islam?
2. Apa saja ruang lingkup hukum islam?
3. Apa tujuan dari hukum islam?
4. Ada berapa pembagian hukum islam?
1.3. Tujuan
1. Mengenal hukum beserta pembagiannya.
2. Mengenal, memahami dan mengamalkan hukum
Taklifi.
3. Mengenal, memahami dan mengamalkan hukum
Wadh’i.
4. Mengenal, memahami dan mengamalkan hukum
Takhyiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Hukum Dalam Islam
Hukum (peraturan/norma)
adalah suatu hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat,
baik peraturan tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau
norma itu berupa kenyataan yang tumbuhdan berkembang dalam masyarakat
maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan
oleh penguasa.
Hukum Islam adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk
umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan
kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah
(perbuatan).
Dengan adanya Hukum dalai
slam berarti ada batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam kehidupan. Kerena
tidak bisa dibayangkan jika hokum, seseorang akan semaunya melakukan sesuatu
perbuatan termasuk perbuatan maksiat.
2.2.
Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam dibagi ke dalam
dua bagian :
1. Bidang Ibadah
Ibadah mahdah adalah tata
cara beribadah yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan
Allah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2. Mu’amalah
Mu’amalat adalah ketetapan
Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia. Yang sifatnya
terbuka untuk dikembangkan melalui ijtiad manusia yang memenuhi syarat untuk
melakukan usaha itu.
Dengan adanya hukum ibadah mahdah dan
muamalah ini jika diamalakan oleh manusia akan dapat terpelihara Agama, jiwa,
dan akalnya.
2.3 Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum Islam secara
umum adalah untuk mencegah kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan. Mengarahkan
manusia kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
diakhirat kelak . Menurut Abu Ishak al-shatibi,yaitu :
1. Memelihara agama
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara akal
4. Memelihara
keturunan
5. Memelihara harta
2.4. Pembagian Hukum Islam
Berdasarkan
defenisi di atas , ulama ushul fiqh membagi hukum Islam tersebut
kepada dua pembagian yaitu hokum al-taklifi dan wadh’i,takhyiri.
A. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan
pilihan. Dinamakan hukum taklifi karena titah ini
langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud dengan
mukallaf dalam kajian hukum islam adalah setiap orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras.
Anak-anak, orang gila / mabuk dan orang tertidur tidak termasuk golongna
mukallaf, maka segala tindakan yang mereka lakukan tidak dapat dikenakan sangsi
hokum. Ada dua bentuk tuntutan di dalam hokum islam, yaitu tuntutan untuk
mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalakan. Dari segi kekuatan tuntutan
tersebut terbagi pula ke dalam dua bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti
dan tuntutan yang tidak mesti dan pilihan yang terletak di antara mengerjakan
dan meninggalkan.
Menurut jumhur ulama hukum taklif itu ada
lima macam yang disebut juga dengan hukum yang lima sebagai berikut.
1. Wajib, yaitu tuntutan yang
mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut
mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti
firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai berikut.
“
Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”.
2. Sunat, yaitu tuntutan yang
mengandung suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk
mengerjakannya. Bagi orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran.
Karena kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak
mendapat ancaman dosa seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang
terjemahannya sebagai berikut.
“
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya”.
3. Haram, yaitu tuntutan yang
mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya
berarti dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia patut
mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan
berarti dia telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut mendapatkan
ancaman dosa, seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya
sebagai berikut.
“
…Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu bapakmu, dan janganlah kamu
menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.”
4. Makruh, yaitu tuntutan yang
mengandung larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang yang meninggalkan
larangan berarti telah mematuhi yang melarangnya, karena itu ia berhak mendapat
ganjaran pahala. Tetapi karena tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka
orang yang meninggalakan larangan itu tidak dapat disebut menyalahi yang
melarang, dan tidak berhak mendapatkan ancaman dosa seperti sabda Nabi SAW.
Berikut ini.
“Dari
Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya, Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal
yang paling dibenci Allah adalah Thalak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan
dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal : 168).
5. Mubah, yaitu titah Allah SWT yang
memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan
, dalam hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau meninggalkan. Apabila
seseorang mengerjakan dia tidak diberi ganjaran dan tidak pula ancaman atas
perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu apabila dia
melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran seperti
firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Talak
(yang dapat rujuk) dua kali. Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Pengaruh
titah ini terhadap perbuatan disebut juga ibahah, dan perbuatan yang diberi
pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.
B. Wadh’i
Ulama
ushul fiqih membagi hukum wadh’i
kepada lima macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil, sedangkan menurut Al-Amidi
tujuh macam yaitu berikut ini. Sabab,
syarth, mani’, shah, bathil,azimahdan rukhsah.
1. Sabab, yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan
sebabbagi wajib dikerjakan suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S
17 :78 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dirikanlah
shalat sesudah matahari tergelincir.”
2. Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu
dijadikan syarat bagi sesuatu seperti sabda Nabi SAW, yang terjemahannya
sebagai berikut.
“Sesungguhnya
Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas
hingga berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).
Shalat
tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu, tetapi seseorang yang dalam keadaan
berwudhu tidak otomatis harus mengerjakan shalat karena berwudhu itu merupakan
salah satu syarat sah nya shalat. Jadi suatu hukum taklifi tidak dapat
dilaksanakan sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan syara’. Oleh sebab itu berwudhu (
suci ) merupakan syarat sahnya shalat.
3. Mani’ (penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya
menyebabkan tidak ada hukum. Misalnya sabda
Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang terjemahannya sebagai
berikut.
“
Apabila datang haid kamu tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berhenti, maka
mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari ( Al-Asqalany, I tth :63).
Dari
contoh-contoh di atas jelas keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ sangat
erat.
4. Shah, yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara’.
Maksudnya hokum itu dikerjakan jika ada penyebab , memenuhi syarat-syarat dan
tidak ada sebab penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya, mengerjakan shalat
zuhur setelah tergelincir matahari sabab (sebab)telah berwudhu (syarat), dan
tidak ada penghalang (mani’) seperti haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya
adalah sah.
5. Bathil, yaitu terlepasnya hukum
syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum
yang ditimbulkannya, seperti batalnya jual beli dengan memperjualbelikan
minuman keras, karena minuman keras itu tidak bernilai harta dalam ketentuan
hukum syara’.
Adapun
mengenai rukhsah dan ‘azimah, Syarifuddin sependapat
dengan Al-Amidi yaitu termasuk pemabahasan hukum wadh’i dalam
pelaksanaan hukum taklifi. ‘Azimah yaitu hukum
asal atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalili umum tanpa memandang
kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya, seperti haramnya bangkai untuk
umat Islam.
Rukhsah, yaitu
keringanan atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai
pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu seperti boleh memakan
bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.
C. Hukum Takhyiri
Takhyir adalah Syari’ (Allah dan Rasul) memberikan pilihan
kepada mukallaf untuk memilih melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Hukum yang terambil dari nash dengan gaya redaksi ini hukumnya adalah halal.
Artinya seorang mukallaf boleh melakukan / meninggalkan.
Dalam
pembahasan ilmu ushul hukum, takhyiri biasa disebut dengan mubah.
Redaksi
Takhyiri antara lain:
1.Menyatakan bahwa suatu perbuatan, halal
dilakukan.
Contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 187
yang artinya “Dihalalkan bagimu pada malam hari-hari puasa bercampur
dengan istri-istrimu, mereka adalah pakaianmu dan dan kamu adalah pakaian
mereka...”
2.Pembolehan dengan menafikan dosa dari
suatu perbuatan.
Contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 173
yang artinya “Tetapi barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang ia
tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa
baginya (makan), sesungguhnay Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3.Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari
melakukan suatu perbuatan.
Contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 235
yang artinya “Dan tidak ada kesalahan bagimu meminang wanita-wanita itu
(dalam ’iddah wafat) dengan sindiran atau kamu menyembunyi-kan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu...”
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh
Allah melalui wahyu-Nya dalam Al Qur’an dan dijelaskan dalam sunnah Rasul.
Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan dan mendatangkan
kemaslahatan. Mengarahkan manusia kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan diakhirat kelak .
Sumber hukum islam terdiri atas: Al-Qur’an,
As-Sunnah, Al-Ijtihad.Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui
perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa
Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi)
dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum
bagi seluruh ummat manusia. Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir
(ketetapan / persetujuan / diamnya) Rasulullah saw terhadap sesuatu
hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.
Sedangkan Al-Ijtihad yaitu berusaha
dengan keras untuk menetapkan hukum suatu persoalan yang tidak ditegaskan secara
langsung oleh Al-Qur’an dan atau Hadits dengan cara istinbath (menggali
kesesuaiannya pada Al-Qur’an dan ataupun Hadits) oleh ulama-ulama yang ahli
setelah wafatnya Rasulullah.
3.2. Kritik dan Saran
Makalah
ini mungkin belum mencapai kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, untuk itu
kami mohon maaf kepada teman-teman semua dan dosen mata kuliahUshul Fiqih. Dan
oleh karena itu kami mohon kritik dan saran dari teman-teman. Agar teman-teman
juga lebih dapat memahami dan mengetahui tentang Sekolah Sebagai Suatu Sistem
Dan Struktur Organisasi/Birokrasi. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan teman-teman semua. Amiin ya robbal alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad
At-Tahanawi. “Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun”.
Beik, Muhammad
al-Khudhari.2007. “Ushul Fiqh”. terj.Faiz el-Muttaqien.
Jakarta. Pustaka Amani.
Bisri, Adib dan Munawwir A.
Fatah. 1999. “Kamus Al-Bisri”. Surabaya. Pustaka
Progresif.
Karim, A.
Syafi’i. 1997. “Fiqih Ushul Fiqih” (Cet.
I). Bandung. Pustaka Setia.
Komentar
Posting Komentar